Wednesday, March 15, 2017

From the MDGs to the SDGs: Grassroots Women’s Participation in Sustainable Development.












Parallel Events
08:30AM– 10:00 AM, Church Center of the United Nations 


Ada tiga pembicara yang membahas topik ini. Saya tertarik karena ingin tahu banyak apa sih yang melatarbelakangi pergantian nama dari MDG (millennium development goal) ke SDG (sustainable development goal)? dan ingin tahu banyak pandangan perwakilan yayasan atau organisasi yang sudah bergerak di bidang pemberdayaan perempuan seberapa dalam pengatahuan masyarakat khususnya di negara kurang berkembang dan terlebih lagi yang di pedesaan.

Waves from the audiences to those who couldn't attend.
Source: FB Women Thrive Alliance 
Ada tiga pembicara di sesi ini dan di dampingi oleh moderator dari kampus ternama Columbia University. Pembicara pertama adalah Emily Bove sebagai ketua dari organisasi “Women Thrive Alliance” (www.womenthrive.org). Yayasan yang beliau rintis ini lebih kearah advocacy atau pengetahuan ke masyarakat lapisan bawah “grassroots” bahwa ada program pemerintah tentang pemberdayaan perempuan. Beliau bekerja ssama dengan organisasi- organisasi lokal. Selain workshop, ada aplikasi tertentu yang di buat untuk memperluas informasi dan pemahaman tentang pemberdayaan perempuan. Namun, saya pribadi melihat aplikasi tersebut mungkin tidak bisa di akses oleh lapisan masyarakat menengah kebawah. Tapi menurut data beliau bahwa 99% dari masyarakat khususnya di Nigeria terbantu dengan aplikasi tersebut dan mengaku sudah pernah dengar tentang konsep SDG tersebut. Ini di dukung oleh kerjasama dengan organisasi lokal. Namun beliau menambahkan bahwa pelaksaan program kerja dan dana yang menjadi kendala setelah program advokasi tersebut.

Pembicara kedua, Sybil Nmezi and pembicara ketiga, Morenike Omaiboje. Keduanya dari NGO yang berbeda namun dari negara yang sama, Nigeria.  Morenike memberi contoh nyata tentang kekerasan perempuan di negaranya. Tentang penjualan gadis remaja karena dampak kemiskinan. Mirisnya, kadang yang menjual remaja tersebut adalah orangtua sendiri karena hanya cara itu untuk menafkahi keluarga. Atau banyak juga dengan iming-iming bekerja di luar negeri namun akhirnya di jadikan PSK. Beliau berdua mengatakan bahwa advokasi  dari kampung ke kampung (liat: gambar diatas)  khususnya dengan menggunakan Bahasa lokal oleh orang lokal seperti yang telah dan masih dilakukan yayasan mereka sangat membantu mengurangi masalah-masalah yang di hadapi perempuan.

Dari ketiga pembicara dapat disimpulkan bahwa program MDG  kurang berhasil mengaplikasikan kesetaraan gender hingga ke level bawah (grassroots), 77% dari kalangan perempuan tidak paham tentang program MDG tersebut dan mereka hanya mendengar angka namun pelaksaan tidak ada. Oleh karenanya ketiga pembicara optimis bahwa program dan target SDG lebih nyata, bisa diukur dan dirasakan manfaatnya. Semoga dengan istilah “sustainable”, program pemberdayaan perempuan lebih nyata dan berkelanjutan hingga ke lapisan bawah.


NB. Ibu Emily pernah ke Aceh pasca Tsunami dan melaksanakan program micro finance untuk pemberdayaan perempuan. Saya sempat ngobrol singkat dengan beliau setelah sesi ini. 

No comments:

Post a Comment